THE SONY WAY

9 03 2009
  1. Management Style
  2. Work Attitude
  3. Achievement Motivation
  4. Time
  5. Ethics

PENDAHULUAN

Sony perusahaan jepang yang pada awal nya sebuah toko kecil tempat perbaikan radio di Tokyo yang hancur akibat BOM yang di jatuhkan di pusat TOKYO pada perang Dunia II, dari perusahaan  bukan apa – apa menjadi raksasa dunia senilai US$ 50 miliar dan dengan karyawan lebih dari 168.000 orang. Sony telah memainkan peran penting dalam evolusi elektronik selama setengah abad terakhir. Perusahaan elektronik yang membuat Radio Transistor, Televisi Taransistor pertama dunia, TV Warna Trinitron, Walkman, Compact Disc (CD), Handycam Camcorder, Playstation (PS), Laptop VAIO dan masih banyak lagi perangkat elektronik yang dikembangkan/dihasilkan oleh Insinyur – Insinyur professional Sony.

Perusahaan yang berhasil mengkombinasikan dengan tepat antara Ketekunan, Semangat, Kreativitas, dan visi masa depan dapat membangun sebuah perusahaan dari bukan apa – apa menjadi sebuah raksasa dunia. Sony juga telah berkembang ke berbagai bidang di luar dunia elektronik konsumen untuk menjadi produsen film, musik, dan Video Game.

Adalah Masaru Ibuka dan Akio Morita yang memimpin tranformasi perusahaan ini dari sebuah perusahaan kecil perbaikan radio di sebuah Department Store yang telah hancur akibat Bom di pusat kota Tokyo, menjadi sebuah raksasa di berbagai bidang di masa sekarang. Ibuka dan Morita membangun perusahaan mereka dengan berpegang pada dua nilai utama : Kerja Sama Tim dan Inovasi. Kedua nilai ini masih terlihat hingga sekarang. Ibuka menjunjung tinggi Inovasi lebih dari apapun, bahkan lebih tinggi daripada profitabilitas dan ketenaran, dan ingin membangun sebuah perusahaan yang akan memberi teknisi sebuah lingkungan dimana mereka dapat mencipta dan mengambil resiko sesuka hati. Pada intinya, perusahaan ini ingin menjadi keluarga kedua bagi semua orang karyawannya.

Bila melihat kondisi saat ini, sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana kondisi Sony saat Ibuka dan Morita memulai beroperasi lebih dari setengah abad lalu. Sebagaimana ditulis Morita dalam otobiografinya tahun 1985, Made In Japan : “Bukti kekalahan dari perang Dunia ke dua tampak dimana – mana”. Kami dapat melihat kehancuran akibat bom kemanapun mata memandang. Terdapat kebocoran di sana sini diatap dan kami kadang benar – benar harus membuka payung di atas meja. Untuk mencapai Tokyo Tsushin Kogyo (nama awal Sony), anda harus menunduk dibawah deretan jemuran pakaian, dimana penghuni kawasan itu kadang – kadang mengangin-anginkan popok anak mereka hingga kering.

Kontor pusat Sony masih berada dikawasan yang sama sebagaimana mereka memulai melangkah. Disinilah Sony, dengan modal awal ¥ 190.000, mengambil langkah pertamanya untuk menjadi raksasa elektronik konsumen ternama dunia. Disinilah produk pertama Sony, sebuah Radio Transistor terlahir. Dan disinilah Ibuka dan Morita menciptakan nama yang kini sinonim dengan produk konsumen modern berkualitas tinggi. Lanskap kawasan itu telah berubah seiring perjalanan waktu. Kini, Gotenyama dengan cepat menjadi sebuah kawasan bisnis komersial populer yang penuh sesak disalah satu sudut kota Tokyo. Diseberang gang sempit dari kantor pusat saat ini, sebuah bangunan kaca berwarna abu – abu kebiruan berlantai delapan, adalah tempat dimana kantor – kantor pertama Sony berdiri lebih dari lima dasawarsa lalu. Berbagai bangunan perkantoran kini berdiri di bekas lokasi kantor lama Sony, dan banyak diantara bangunan itu menjadi tempat bernaung tim penelitian dan pengembangan (Litbang) Sony.

Para pengunjung dikantor pusat Sony yang mewah dapat singgah di Museum perusahaan, dimana deretan lemari kaca memamerkan berbagai keberhasilan Sony hingga sekarang. Salah satunya yang di pamerkan adalah sebuah tape-coreder, yang menyertakan sebuah rekaman pesan Ibuka yang disampaikan pada bulan Agustus 1950 untuk menandai peringatan satu tahun produksi alat tersebut.

Di seberang lobi yang luas, para pengunjung dapat menyapa masa depan Sony, robot AIBO, Macron dan Latte. Robot – robot hewan peliharaan ini dilengkapi dengan kecerdasan buatan yang memungkinkan mereka menyapa konsumen dan klien dengan anggukan dan suara pendek.

Bagaikan pengunjung yang terjebak diantara museum dan robot AIBO, Sony sendiri sedang berada di persimpangan antara masa lalu dan masa depan. Saat ini, digitalisasi dunia baik dalam cara kita menjalani kehidupan mapun cara kita menggunakan produk elektronik-telah mengubah industry elektronik konsumen. Berbagai perubahan cepat dalam bidang teknologi dan kemajuan era analog. Untuk melawan pesaing berat yang datang dari berbagai arah, Sony mencoba memperluas bisnis secara internal, dengan menambah usaha patungan Telepon Selular, Studio Film, Perusahaan Rekaman, dan Bisnis Video Game kedalam portofolionya. Sony juga mulai mengadopsi cara main baru kedalam dunia bisnis, yaitu menjalin kerjasama dengan perusahaan – perusahaan yang dulu merupakan musuh bebuyutan. Kita memang masih harus menunggu untuk melihat seberapa sukses Sony dalam era bisnis baru ini. Namun, jika melihat dari sejarah Kegigihan dan Inovasi Sony, perusahaan ini kemungkinan akan dapat melalui pertempuran digital ini dan tetap menjadi pemain kuat dipasar.

Sepanjang sejarah lima puluhan tahunnya, Sony telah banyak menciptakan sejarah bagi perusahaan Jepang. Sony menjadi perusahaan Jepang pertama yang sahamnya diperdagangkan di New York Stock Exchange. Sony menjadi perusahaan dunia pertama yang menggunakan transistor dalam pembuatan radio transistor. Sony menjadi perusahaan Jepang pertama yang membeli perusahaan rekaman musik dan studio film Amerika. Konsekuensinya, sony menghapus citra stereotip yang diasosiasikan dengan “Buatan Jepang” dan mengabarkan kepada dunia bahwa produk Jepang bukan sekadar produk murahan. Sony telah menunjukan kepada dunia kekuatan perusahaan Jepang. Namun, Sony juga harus menghadapi dilemma mengenai bagaimana menyeimbangkan tradisi Jepang yang dimilikinya dengan falsafah manajemen Barat. Sekarang, Sony tertantang untuk menciptakan sebuah tempat baru dalam era bisnis digital saat ini.

Semakin meningkatnya jumlah teknologi standar yang tersedia di pasaran telah membantu menyeimbangkan ranah kompetisi dan kemungkinan para pesaing Sony menggulirkan ke produk ke pasar dengan cepat. Sony tidak lagi dapat hanya mengandalkan kapabilitas teknologi yang dimilikinya untuk mempertahankan keunggulan daya saingnya. Ada banyak pihak – analis, pesaing, pengamat industri yang bertanya – tanya apakah Sony akan mampu mencipta ulang dan memoles diri dengan cukup cepat untuk terus mengimbangi perubahan realitas dan perubahan aturan dalam lingkungan bisnis saat ini dan masa depan. Namun, sebagaimana Sony yang saat ini berbeda dari Sony 50 tahun lalu, hampir tidak diragukan lagi bahwa Sony akan mengalami evolusi dalam 50 tahun ke depan, dengan merespons berbagai perubahan dalam iklim bisnis dan juga menciptakan rekor – rekor baru. Satu – satunya yang diyakini oleh para eksekutif dan pengamat yang tidak akan berubah adalah dorongan terus – menerus untuk berpikir di luar kebiasaan dan menjaring imajinasi konsumen di seluruh dunia. Sony akan selalu terus memproduksi barang dan jasa berkualitas tinggi entah itu produk elektronik maupun hiburan yang diyakini akan terus membuat konsumen di seluruh dunia berseru.

 

SEKILAS SONY CORPORATION

Kantor Pusat Global              :        Tokyo

Tanggal Pendirian                  :        7 Mei 1946

Pendiri                                    :        Masaru Ibuka dan Akio Morita

Operating Revenue (2002)    :        US$ 62 Miliar

Operating Income (2002)      :        US$ 1.1 Miliar

Presiden Komisaris dan Direktur Utama (CIO)       :      Nobuyuki Idei

Presiden dan Direktur Operasional (COO)               :      Kunitake Ando

Jumlah Anak Perusahaan yang terkonsolidasi dan Besar

di Seluruh Dunia                   :     97 Anak Perusahaan

Jumlah Karyawan                  :        168.000. Karyawan diseluruh dunia

 

 

TONGGAK UTAMA DALAM SEJARAH SONY

Mei 1946

  • Tokyo Tsushin Kogyo (Tokyo Telecommunication Engineering Corporation), dikenal juga sebagai Totsuko, didirikan di Nihonbashi, Tokyo.

 

 

Juli 1950

  • Tape Recorder magnetic pertama Jepang, G-Type, diluncurkan.

 

 

Agustus 1955

  • Radio Transistor pertama Jepang, TR-55, diluncurkan.

 

 

Desember 1957

  • Radio Transistor luar negeri pertama Sony, TR-63, diluncurkan di AS.

 

 

January 1958

  • Nama perusahaan diganti menjadi Sony Corporation.

 

 

Desember 1958

  • Saham Sony ditawarkan di Tokyo Stock Exchange.

 

 

Februari 1960

  • Sony Corporation of America didirikan.

 

 

Desember 1960

  • Televisi Transistor pertama dunia, TV8-301, diluncurkan.

 

 

Juni 1961

  • Sony menawarkan saham dalam bentuk American Depository Receipts (ADR) ke pasar over-the-counter di New York Stock Exchange.

 

 

April 1966

  • Ruang pamer Sony di GINZA, Tokyo, dibuka

 

Maret 1968

  • CBS/Sony Records Inc., sebuah usaha patungan 50-50 dengan CBS Inc. dari AS didirikan. (usaha ini menjadi sebuah anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki Sony pada Januari 1988 dan berubah nama menjadi Sony Music Entertainment pada April 1991.)

 

 

 

Oktober 1968

  • TV warna Trinitron, KV-1310, diluncurkan.

 

 

 

September 1970

  • Saham Sony ditawarkan di New York Stock Exchange.

 

 

 

September 1972

  • Sony merekrut Harvey Schein untuk mengepalai operasi perusahaan ini di AS.

 

 

 

Mei 1975

  • VCR Betamax rumahan, SL-6300, diluncurkan.

 

 

 

Juli 1979

  • Walkman personal dengan headphone pertama, TPS-L2, diluncurkan.

 

 

 

Agustus 1982

  • Pengumuman teknologi Compact Disc Sony-Philips.

 

 

 

Januari 1985

  • Debut Handycam Camcorder Sony 8mm.

 

 

 

Januari 1988

  • Mengakuisisi CBS Records Inc. (berubah nama menjadi Sony Music Entertaiment Inc. pada Januari 1991).

 

 

 

Juni 1989

  • Penunjukan dua karyawan non – jepang pertama, Michael Schulhof dan Jacob Schmuckli, untuk duduk di Dewan Direksi.


 

November 1989

  • Mengakuisisi Columbia Pictures Entertainment Inc. (berubah nama menjadi Sony Pictures Entertainment pada Agustus 1991)

 

Juni 1991

  • Orang luar pertama ditunjuk untuk duduk di dewan Direksi Sony.

 

Januari 1993

  • Michael Schulhof ditunjuk mengepalai operasi di AS.

 

November 1993

  • Sony Computer Entertainment Inc., produsen Sony PlayStation®, didirikan.

 

Desember 1993

  • Konsol PlayStation secara resmi diluncurkan di Jepang.

 

November 1994

  • Sony mengejutkan Wall Street dan Hollywood dengan mengumumkan kerugian di Sony Pictures Entertainment, pertama kalinya perusahaan ini mengakui masalah keuangan di studio tersebut.

 

April 1995

  • Noboyuki Idei menjadi Presiden Sony. (dia menjadi presiden komisaris pada Juni 2000 dan tetap menjadi presiden komisaris sekaligus direktur utama.)

 

Juli 1997

  • Komputer meja VAIO melakukan debutnya.

 

Agustus 1997

  • Sir Howard Stringer bergabung dengan Sony Corporation of America sebagai sebagai presiden.

 

Desember 1997

  • Masaru Ibuka wafat.

MANAGEMENT STYLE IN SONY

Memperkuat Pijakan : Membuat Jaringan Kekeluargaan

Kisah kebangkitan Sony dari sebuah toko kecil tempat perbaikan radio di Tokyo yang hancur akibat bom setelah Perang Dunia II menjadi sebuah raksasa dunia senilai $50 miliar terkait erat dengan hubungan yang terjalin antara insinyur brilian Masaru Ibuka dan karyawan magangnya (sekaligus rekan pendiri), Akio Morita. Persahabatan meraka, dan persahabatan anggota keluarga serta para manajer professional yang mereka tumbuh kembangkan, menggaris bawahi kepercayaan dan keyakinan yang memberi sumbangsih bagi kejayaan dan kemunduruan Sony.

Bagi Morita, rekan pendirinya Masaru Ibuka, dan para eksekutif yang mereka tumbuh kembangkan, perusahaan ini merepresentasikan bukan hanya sekumpulan orang gajian yang kebetulan bangun setiap pagi untuk datang bekerja di perusahaan yang sama. Bagi mereka, Sony sama dengan keluarga, dan setiap anggota perusahaan harus diperlakukan seolah – olah bagian dari keluarga. Kepercayaan perusahaan sebagai keluarga inilah yang mendonkrak Sony dari sebuah toko kecil tempat perbaikan radio di Tokyo yang hancur lebur oleh bom setelah Perang Dunia II, menjadi sebuah raksasa elektronik dunia.

Diantara Ibuka dan Morita terjalin sebuah persahabatan dan kepercayaan yang menyusun sebuah hubungan kasih sayang layaknya saudara. Ibuka merupakan pemikir dalam keluarga Sony ; Morita menjadi pelaksana. Para karyawan melihat system dua langkah kedua pendiri itu sebagai tanpa cacat dan kepercayaan diantara keduanya menular ke pola hubungan antara karyawan dan perusahaan sehingga menjadi mirip sebuah keluarga kedua.

Kepercayaan perusahaan sebagai keluarga ini menggarisbawahi sebuah Gaya Manajemen populer di Asia. Yang menempatkan kerja sama tim dan kesetiaan di atas laba dan analisis biaya-manfaat. Dari fondasi keluarga inilah terlahir sebuah paduan Sony yang tidak sepenuhnya Jepang ataupun Barat; alih-alih, terciptalah sebuah percampuran gaya manajemen korporat yang memberikan sumbangsih dalam kejayaan maupun kemunduran Sony.

Formula perusahaan sama dengan keluarga, merupakan sebuah ramuan yang ditemukan di seluruh Asia, dalam dunia korporat yang didominasi terutama oleh perusahaan keluarga dan konglomerasi regional di mana semua orang mengenal setiap orang, dan kesepakatan bisnis kadang dituntaskan dengan jabat tangan di meja makan. Sikap seperti ini berpusat pada keyakinan bahwa karyawan memiliki perasaan kewajiban keluarga terhadap perusahaan dan bukan hanya karena meraka dibayar untuk datang ke perusahaan. Para pemimpin perusahaan – perusahaan ternama Jepang sering mengatakan bahwa masuk ke sebuah perusahaan bagaikan terlahir kembali dalam sebuah keluarga berbeda. Para eksekutif Sony juga demikian. Sebagai imbalannya, sebagaimana orang tua yang memberikan jaminan rasa kasih sayang dan dukungan sepanjang umur, perusahaan menawari mereka jaminan seumur hidup berupa kepastian pekerjaan dan janji kompensasi yang sehat.

Para kritikus percaya gaya kepemimpinan seperti ini tidak cukup transparan dan dapat membawa pada ketiadaan akuntanbilitas serta stagnasi tenaga kerja. Ada banyak contoh dimana perusahaan menjadi terlalu nepotism, mengabaikan berbagai prioritas fundamental bisnis, yaitu menghasilkan aliran pemasukan. Selama krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an, sebagian analisis menuding kecenderungan pada ikatan kekeluargaan ini mengaburkan perbedaan antara hubungan bisnis dan pribadi, mangaburkan makna kesetiaan keluarga dan profesionalisme serta akuntabilitas, sehingga menyebabkan keruntuhan banyak perusahaan Asia. Namun, meski kritik mengenai sebagaian dari jaringan dari jaringan rumit korporat ini ada benarnya, jaringan internal yang terpintal rapi ini menghasilkan kesetiaan luar biasa terhadap perusahaan, yang tidak di ragukan lagi merupakan salah satu bahan penting bagi perusahaan Asia yang sukses.

Dibarat, para eksekutif korporat lebih sering berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya setiap beberapa tahun sekali. Dalam kondisi semacam itu, membangun sebuah perusahaan dengan hanya berdasarkan pada jaringan stabil hubungan pribadi, kepercayaan, dan kesetiaan menjadi lebih sulit. Alasan pertama, mobilitas tinggi seperti itu membuat perusahaan tidak memiliki waktu untuk menumbuh kembangkan kepercayaan dan mendongkrak kekuatan tiap eksekutif dalam jajaran manajemen papan atas. Meski perusahaan – perusahaan Asia kini semakain mengalami Westernisasi, dengan membayar mahal perusahaan – perusahaan konsultasi untuk mengajarkan bagaimana merestrukturisasi perusahaan dan merumuskan strategi bisnis mereka, banyak perusahaan terus mati – matian mempertahankan salah satu prinsip bisnis tradisional : kesetiaan. Sebagai imbalan atas kesetiaan karyawan, mereka menawarkan pekerjaan seumur hidup.

Menjalin Jaringan Keluarga

Mengingat sejarah Sony, tidaklah sulit untuk memahami mengapa Sony memegang teguh pemikiran keluarga ini, bahkan di masa sekarang ketika model kesetiaan korporat dan kewajiban seumur hidup mulai memudar, termasuk di Asia. Kebanyakan eksekutif papan atas Sony telah bekerja di perusahaan ini selama lebih dari dua dasawarsa. Akira Higuchi, salah satu dari tujuh teknisi orisinal yang mengikuti Ibuka ke Tokyo pada Oktober 1945 untuk mendirikan perusahaan yang kemudian akan menjadi Sony, masih membawa – bawa title ‘penasihat’. Dia mengendarai sendiri mobilnya untuk berangkat kerja pukul 8 pagi dan menghabiskan harinya dengan menerima tamu dan mengatur dokumen – dokumennya.

 

MENUMBUHKEMBANGKAN KESETIAAN

“Bagaikan orang tua yang member jaminan kasih sayang dan dukungan seumur hidup, perusahaan mendapatkan kesetiaan dan dedikasi yang tidak tergoyahkan dari karyawan dengan menawari karyawan jaminan pekerjaan seumur hidup dan kompensasi yang sehat.

Untuk itu perusahaan harus memperlakukan karyawan secara setara, dengan memberi mereka ruang untuk mengambil risiko, bersuara, dan menghargai mereka dengan promosi, serta kompensasi yang lebih baik atas keberhasilan yang di capai”

Mungkin sebagian pihak akan mengatakan bahwa konsep keluarga itu berkembang karena kebutuhan. Kelompok pertama para teknisi Sony terbentuk sesaat setelah kekalahan Jepang pada 1945. Alih-alih bergabung dengan konglomerasi keluarga yang mapan dengan pasokan modal tiada henti dan pengaruh politik, para teknisi ini menginginkan sebuah awalan yang baru sebuah perusahaan dimana mereka dapat menginvestasikan pengetahuan, kemahiran, dan mimpi mereka. Maka, ketujuh teknisi ini mengikuti Ibuka ke sebuah departemen store yang luluh lantak akibat bom di pusat kota Tokyo. Ibuka, pemimpin kelompok teknisi penuh mimpi ini, menyadari bahwa dia akan membutuhkan dukungan dari pemerintah dan basis modal kuat agar bisa mewujudkan mimpi individu maupun kolektif mereka.

Pekerjaan Seumur Hidup

Konsep mengenai seorang karyawan yang menghabiskan seluruh kehidupan bekerjanya pada sebuah perusahaan bukan semata – mata ada di perusahaan Jepang. Namun, konsep ini memang merupakan konsep yang mendarah daging di perusahaan – perusahaan Jepang.

Konsep jaminan pekerjaan seumur hidup berjalan dengan cara berikut : dengan menghubungkan masa depannya ke masa depan perusahaan, seseorang individu ikut menanggung sebagian resiko terlepas dari seberapa lama dia akan bertahan diperusahaan. Apapun yang terjadi terhadap perusahaan selama masa baktinya jelas akan membawa dampak terhadap karirnya. Karena resiko ini, yang dengan suka rela ditanggung individu tersebut demi perusahaan, dan untuk menghadiahi karyawan bersangkutan atas kesetiaannya, perusahaan memberi jaminan pekerjaan seumur hidup kepada karyawan tersebut.

Akibatnya, upah dan promosi di kebanyakan perusahaan Jepang sebagian besar ditentukan oleh lama bekerja. Tertentu saja, ada beberapa pengecualiaan terhadap aturan itu, dimana para pekerja muda potensial penuh energi meloncati para karyawan yang lebih senior dalam titian karier. Sony sendiri memberi contoh jelas mengenai hal ini dengan penunjukan Nobuyuki Idei sabagai presiden. Idei merupakan karyawan seumur hidup Sony yang mulai meniti karier pada 1960 begitu lulus dari Waseda University, Tokyo, yang ternama. Namun, saat ditawari posisi tinggi tersebut pada april 1995, dia pada dasarnya meloncati selusin eksekutif lebih senior yang mendapat julukan “Mr.Walkman”,”Mr.Semikonduktor”, dan “Mr. Camcorder” atas peran mereka dalam kejayaan rancang bangun Sony.

Jelas, ada sisi negatif dalam kesetiaan mati-matiaan yang ditemukan dalam perusahaan – perusahaan Jepang ini. Yang paling penting, kesetiaan semacam ini mengurangi kelenturan dalam manajemen personel dan memiliki tiga kerugian utama :

  • Tenaga jepang tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan kondisi downturn (penurunan). Sebuah perusahaan terlebih dahulu harus melakukan pengurangan alih kerja (outsourcing), dengan mengerjakan sendiri proses yang selama ini dialihkerjakan ; lalu menawarkan barbagai tunjangan pension khusus untuk mendorong karyawan keluar dari barisan tenaga kerja ; dan, akhirnya membiarkan proses normal pengurangan karyawan berjalan (pengunduran diri, pension, atau kematian). Pemecatan karyawan yang sesungguhnya baru terjadi hanya dalam krisis akut. Hanya setelah kehabisan para pendekatan lain dan hanya setelah tercapai kesepakatan bulat dengan serikat dan para pekerja.

 

  • Sebuah perusahaan juga beresiko mengalami kegemukan dalam hal jumlah karyawan, dengan mempertahankan staf yang mungkin kurang kompeten. Para kritikus perpandangan bahwa, karena evaluasi kinerja tidak mamainkan peran dalam menentukan apakah seseorang akan dipertahankan atau tidak, pekerjaan seumur hidup dapat menjadi sebuah disinsetif bagi karyawan. Akibatnya, perusahaan mungkin mendapatkan karyawan yang tidak antusias, yang mungkin berlebihan namun tidak dapat dipecat, sehingga menciptakan suatu beban keuangan dan memperlambat pertumbuhan perusahaan.

 

  • Jaminan pekerjaan seumur hidup juga mempersulit akuisisi atau merger. Cara tercepat bagi sebuah perusahaan untuk tumbuh dan memasuki sebuah bidang bisnis baru saling sering kali melalui akuisisi. Meski merger dan akuisisi jelas memiliki risiko tersendiri, risiko keduanya kadang tidak sebesar pertumbuhan organisasi yang diperoleh melalui diversifikasi internal. Pertumbuhan internal mungkin menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi stabilitas keuangan perusahaan secara keseluruhan dan lebih banyak menghabiskan waktu.

 

KESIMPULAN

Jaminan pekerjaan seumur hidup tidak lagi merupakan sebuah falsafah manajemen yang tidak tergoyahkan di jepang masa kini. Resesi ekonomi telah menggerogoti kemampuan keuangan konglomerasi terbesar sekalipun. Bahkan, Sony telah dipaksa untuk mempertimbangkan kembali kebijakan sumber daya manusianya. Saat Nobuyuki Idei menjadi presiden komisaris, dia menggelar sebuah rencana restrukturisasi yang mengurangi jumlah anggota dewan direksi dari 38 menjadi 10 dan berjanji mengurangi jumlah tenaga kerja di kantor pusat perusahaan dari angka 2.500 saat ini menjadi beberapa ratus dalam lima tahun ke depan, dan mendorong pengurangan jumlah tenaga kerja secara global sebesar 10%.

 

Bagi sebagian orang, istilah “jaminan kerja seumur” menimbulkan citra negatif seperti kemalasan, kemandekan, dan yang lebih serius lagi terkorbannya kemandirian dan individualitas. Namun di Jepang, mereka memiliki frase yang lebih halus : nihonteki keie atau ‘Manajemen Gaya Jepang’. Sebagaimana dibuktikan rekam jejak Sony, jaminan pekerjaan seumur hidup tidak berubah menjadi strategi bisnis yang tumpul. Di Sony kesetiaan dan perasaan sebagai satu keluarga ini telah menciptakan sebuah jaringan individu kreatif, cerdas, dan bersemangat dengan kepercayaan yang menjamin kecilnya tingkat pergantian karyawan dan segunung pengetahuan institusional mengenai budaya korporat inovatif dan budaya kerja Sony. Norio Ohga merupakan salah satu contoh paling cocok. Tidak seperti banyak karyawan sony lainnya yang memiliki latar belakang teknik, Ohga, presiden komisaris ke tiga Sony (1995-1999), dulunya merupakan seni music yang sedang dalam proses meniti karir menjadi seorang penyannyi opera saat Morita menemukannya. Ohga waktu itu menulis surat kritik kepada Sony dengan menunjukan cacat tape recorder pertama perusahaan itu, G-Type Tape-Recorder. Ohga menunjukkan bahwa piranti ini terlalu terdistorsi hingga tidak berguna bagi musisi.

 

Perlu ditekankan disini bahwa, walaupun kesetiaan dan kewajiban seumur hidup terhadap perusahaan mengilhami stereotip mengenai karyawan yang tumpul, di Sony, dimana kreatifitas selalu menjadi nomor satu, perusahaan berusaha untuk menjaga agar inovasi tidak mengalami masalah akibat penekanan perusahaan pada nilai – nilai keluarga. Malah, kreatifitas berkembang karena Sony berhasil menyeimbangkan antara penghormatan atas pribadi dan kebutuhan kerja sama tim. Dalam banyak hal, dengan mencapai keseimbangan ini, Sony menentang bingkai kaku perusahaan tradisional Jepang. Kesediaan Sony mengambil resiko dan bereksperimen, dan kemahirannya dalam pemawasaran yang berani dan pencitraan merek, berbeda dari dunia korporat Jepang yang bersifat hierarkis dan konservatif.

“ Semua orang diajarkan untuk bertindak seperti anggota keluarga yang siap melakukan apa pun yang di butuhkan”

Akio Morita, pendiri

Untuk benar – benar memahami bagaimana Sony mempertahankan keseimbangan ini, terlebih dahulu perlu memahami dan menghargai pendekatan Inovatif yang diambil sejak awal oleh Ibuka, Morita, dan tim mereka. Melalui sikap saling percaya dan keyakinan bersama mengenai keluarga baru ini, mereka membangun sebuah fondasi yang dapat mereka jadikan pijakan bersama untuk bermimpi menjadikan perusahaan kecil ini menjadi sesuatu yang besar.

Tidak Apa-apa Berbuat Salah

Para manajer Barat memelopori konsep akuntabilitas di tempat kerja, sebuah cara untuk mengukur kinerja dan produktivitas setiap pekerja untuk menentukan promosi, upah, dan demosi. Di Sony, pertanyaan seperti “Bagaimana perkembangan Proyekmu?” dan “Apakah risetmu menghasilkan produk baru ?” memainkan peran penting dalam menilai kinerja seseorang karyawan. Pertanyaan seperti itu penting karena menunjukan gairah untuk terus berinovasi, sesuatu yang merupakan inti semangat korporat Sony. Namun pada saat bersamaan, para pendiri Sony juga percaya bahwa mereka harus mendorong karyawan mereka untuk bersikap mandiri dan mengambil resiko terukur. Dalam dunia peloporan, resiko harus diambil, dan dalam prosesnya, kesalahan akan terjadi. Dibanyak perusahaan, kesalahaan sering mengakibatkan hukuman demosi, pengurangan upah, atau pemecatan. Namun di Sony, para eksekutif berpendapat bahwa tindakan yang menekankan tanggung jawab individu terlalu besar seperti itu tidaklah bijak dan tidak perlu. “semua orang diajarkan untuk bertindak seperti anggota keluarga yang siap melakukan apa pun yang dibutuhkan,” tulis Akio Morita dalam otobiografinya tahun 1985, Made In Japan. “Dalam pandangan saya, yang penting bukanlah menimpakan kesalahan pada seseorang, melainkan mencari tahu apa penyebab kesalahan itu.”

Di Jepang ide kolektivitas seringkali lebih dijunjung tinggi dari pada identitas individu. Lingkungan keluarga korporat menciptakan sebuah lingkungan yang aman dan mengayomi dimana para pekerja termotivasi oleh diri sendiri dan lebih berani dalam berusaha mencari jalan memperbaiki produk dan dalam berinovasi. Karena mengetahui bahwa bisnis sehari – hari perusahaan dijalankan oleh para karyawan muda yang antusias dan bersemangat, para manajer dapat menghabiskan waktu dan upaya mereka untuk merencanakan masadepan perusahaan.

Kesalahan yang pernah dilakukan oleh Sony dalam mengembangkan sebuah produk maupun dalam memasarkan produk – produk nya :

  • Kesalahan Transistor yang Hampir Membuat Sony Gulung Tikar.

 

  • Produk Betamax, peralatan rekaman video portable.

 

  • Menarik diri Terlalu Dini : Kesalahan Kalkulasi pada saat memasrkan/menjual produk Calculator yang di berinama SOBAX yang berarti “simpoa mantap”

 

 

Kesalahan bahkan terjadi pada perusahaan – perusahaan terbaik yang dijalankan dengan teramat mulus. Kesalahan terjadi karena faktor manusia, penilaian yang buruk, saat yang tidak tepat, serta berbagai alasan lainnya. Mungkin di satu titik, signifikansi suatu kesalahan tampak berat dan tidak mungkin diatasi. Namun, jika sebuah perusahaan mampu belajar dari kesalahan dan menerapkan hikmah yang dipetik dari kesalahan itu dimasa depan, ini bisa menjadi sebuah investasi, bukannya kerugian. Saya bukannya mengatakan bahwa perusahaan harus membiarkan kesalahan sembrono. Morita membedakan secara jelas antara kesalahan sembrono dan belajar dari kesalahan. Menempelkan cap pecundang dan membatasi peluang promosi kepada orang yang berbuat kesalahan dapat membuat karyawan bersangkutan kehilangan motivasi sepanjang karir bisnisnya dan mungkin menghilangkan peluang dari bagi perusahaan untuk dapatkan potensi tertinggi yang belum sempat ditawarkan karyawan tersebut. Disisi lain, jika kesalahan itu diperjelas dan di ungkap di permukaan, orang yang membuat kesalahan tidak akan mengulanginya. “saya mengatakan kepada orang – orang kami, “silakan melakukan apa yang menurut kalian benar. Jika berbuat kesalahan, kalian akan belajar dari kesalahan itu. Tapi jangan terjerembab ke lubang yang sama dua kali,” ujar Morita. Falsafah ini menegaskan sebuah keyakinan korporat jepang bahwa tiap karyawan merupakan bagian dari keluarga korporat seumur hidup dan bahwa yang lebih penting adalah mengidentifikasi akar penyebab kesalahan guna mencegah terjadinya masalah yang sama dimasa depan. Selain itu, bahkan pembuat kesalahan ditemukan, bisa jadi pelakunya adalah seorang karyawan senior dimana kerugian akibat kehilangan pengetahuan dan pengalaman karyawan senior itu akan lebih besar dari pada biaya menemukan seorang pegganti. Dan jika diperjelas bahwa evaluasi yang dilakukan bukanlah untuk merusak masa depan seseorang melainkan untuk membantu seluruh karyawan belajar dari kesalahan, hasil yang muncul justru sebuah pelajaran berharga, bukannya kerugian.

Memperlakukan Karyawan Bagaikan Keluarga

Di Sony, ide mengenai perusahaan sebagai sebuah keluarga berkali – kali muncul ke permukaan dalam berbagai makalah dan pidato mengenai budaya korporat dan falsafah manajemen. Ide ini menggambarkan sebuah budaya bisnis yang menonjol di Asia. Lagi pula, kawasan ini masih diwarnai oleh konglomerasi-konglomerasi keluarga, dimana kepemilikan diwariskan generasi ke generasi. Para manajer konglomerasi keluarga memagari mereka sendiri dengan para professional yang setia dan berdedikasi terhadap perusahaan, namun “orang – orang luar” ini kemudian dianggap sebagai bagian dari keluarga. Hubungan ini jauh lebih mendalam dari pada jaminan kontrak financial apapun. Malah, selama puluhan tahun, para eksekutif papan atas Sony bekerja untuk Morita dan Ibuka tanpa kontrak apapun. Bahkan Michael Schulhof, mantan presiden komisaris Sony Corporation of America dan mungkin satu – satunya orang non-jepang yang diterima kedalam lingkaran terdalam para pemimpin Sony, tidak memiliki kontrak hingga dia memintanya pada 1993.

Kepercayaan yang ada diantara lingkaran dalam ini dan para pendiri Sony terletak pada nilai fundamental kesetiaan : bahkan anggota keluarga tidak akan meninggalkan anggota keluarga lainnya. Morita sering menyebutkan gagasan ini dalam otobiografinya. Di Sony, perusahaan dan karyawan satu. Dia mencibir tindakan pemecatan besar-besaran selama kelesuan ekonomi. Dia meyakini bahwa sebuah keluarga harus tetap bersatu, baik dimasa menyenangkan maupun susah, dan pemecatan adalah sebuah bentuk penghianatan terhadap karyawan yang telah memeras keringat dan membanting tulang demi keberhasilan perusahaan.

 

Menanamkan kesetiaan

Selama bertahun – tahun, jarang ada manajer papan atas Sony yang digaet oleh perusahaan lain. Ini salah satunya berkat kenyataan bahwa sebagian dari manajer ini benar – benar anggota keluarga, yang tekait oleh hubungan darah atau pernikaha, atau telah bekerja dengan Ibuka dan Morita selama bertahun – tahun. Kazuo Iwama, misalkan, merupakan adik ipar Morita. Keluarga Morita dan Iwama bertetangga di Nagoya. Sebulan setelah Iwama menikahi adik perempuan Morita, Kikuko, Morita merekrutnya ke perusahaan. Iwama banyak mencatat keberhasilan di Sony. Dia merupakan bagian dari tim teknis pertama yang mengembangkan radio transistor pada awal 1950 an dan, hingga kematiannya akibat kanker usus pada 1982, dia tetap menjadi karyawan setia.

Dalam industri yang sangat kompetitif seperti elektronik konsumen, kemampuan mempertahankan para manajer bintang merupakan sesuatu yang mengagumkan. Kendati tergantung pada kondisi yang melingkupinya, saat seorang manajer benar – benar mengambil keputusan untuk meninggalkan Sony, keputusan itu biasanya dianggap sebagai sebuah penghinaan luar biasa. (bagaimana mungkin anda meninggalkan keluarga sendiri ? dan buat apa anda melakukannya ?)

Disisi lain, Sony telah melepas tradisi manajemen Jepang yang kaku dan sulit di pahami. Sebagaimana para pendiri Sony ingin menciptakan sebuah lingkungan korporat dimana ide kreatif mengalir bebas dan orang – orang entah itu manajer maupun karyawan biasa dapat mengadakan diskusi cerdas mengenai berbagai ide baru. Bila memasuki Sony Picture Entertainment di Culver City, California dimana film – film besar dibuat setiap harinya, kita akan merasakan bahwa perusahaan dan sikap para karyawan sangat America. Para karyawan memanggil satu sama lain dengan nama depan. Pakaian yang dikenakan lebih santai. Semua ini menandai sebuah lingkungan lebih santai yang terdapat dalam industri pembuatan film, dimana kreativitas lebih dihargai daripada proses. Para karyawan disana, bahkan ekspatriat dari Jepang, mengatakan bahwa sulit dipercaya bahwa pemilik perusahaan ini adalah orang Jepang. Namun, Sony sangat menggenggam erat gagasan mengenai kesetiaan dan tanggung jawab keluarga. Sejak detik pertama seorang karyawan baru menginjakkan kaki di Sony Corporation mereka disambut layaknya anggota keluarga baru dan diberi wejangan : “Bersiaplah bekerja sangat keras dan kami akan membayar anda dengan jaminan pekerjaan dan rasa terimakasih kami.” Sama seperti hubungan antara ayah dan anak, kakak dan adik, hubungan antara karyawan Sony dan perusahaan dinilai lebih tinggi dari pada sekedar transaksi finansial.

Semangat keluarga Sony meresap ke seluruh sector perusahaan, mulai dari presiden komisaris hingga pekerjaa terendah dilantai pabrik, sehingga membuat semua orang merasa perusahaan ini adalah milik semua karyawan, bukan hanya segelintir manajemen papan atas. Orang – orang di pucuk pimpinan perusahaan merasa bahwa mereka berkewajiban memimpin perusahaan keluarga ini dan peduli terhadap anggotanya. Salah satu cara dimana para pendiri mencoba menumbuhkan solidaritas semacam ini didalam perusahaan adalah dengan Jaket Sony. Jaket inilah salah satunya terilhami oleh jaket Mao di China komunis. Abu – abu dengan garis merah, jaket ini diberikan kepada semua orang dikeluarga Sony, di Jepang dan dimana pun Sony berada. Hingga wafatnya pada Desember 1997, Ibuka, terkenal sering mengenakan jaketnya di kantor pusat Sony sebagai sebuah cara untuk menunjukan bahwa dia hanyalah seorang anggota keluarga Sony. Selalu terjadi benturan antara inti filosofi manajemen Jepang Sony dengan budaya Barat.

Bebas Beropini

Bagi sebuah budaya korporat Jepang yang sangat sadar hierarki dan formalitas, budaya Sony yang mendorong karyawan untuk berpikir independen dan mengungkapkan pikiran meraka dengan bebas merupakan sesuatu yang hampir dapat dikatakan kurang ajar. Para konsultan manajemen yang pernah bekerja sama erat dengan para eksekutif dan karyawan Sony dan pernah menghabiskan waktu berjam – jam untuk menghadiri rapat strategi Sony ingat betapa mereka terkejut saat pertama kali melihat bahwa semua orang bebas mengemukakan pendapat dalam group – group diskusi ini. “Semua orang, sebagai bagian dari keluarga Sony, diharapkan membuka mulut meraka bila ada yang ingin meraka katakana. Jika diam saja, justru penilaian mengenai anda dan kinerja anda akan menjadi buruk,” ujar salah seorang konsultan yang pernah bekerja sama erat dengan Sony selama bertahun – tahun. Walaupun semua memahami bahwa segala sesuatu keputusan akhir serta visi dan strategi langsung Sony ada ditangan manajer papan atas, setidaknya masih ada upaya secara sadar didalam budaya korporat Sony untuk menghilangkan perbedaan kelas atau hierarki birokrasis. Setiap anggota keluarga dipandang penting. Para manajer papan atas di perusahaan ini memberi contoh yang jelas mengenai kesetaraan, dan menunjukan bahwa mengungkapkan pendapat dan mungkin ketidaksetujuan terhadap suatu keputusan perusahaan tidak lantas berarti bakal mengakibatkan penurunan jabatan atau pemecatan. Bahkan bisa jadi malah membawa pada imbalan. “Di perusahaan ini, kami tertantang untuk mengungkapkan ide – ide kami. Jika ide itu berbenturan dengan ide lain, itu lebih bagus, karena benturan itu mungkin malah menghasilkan sesuatu yang bagus di level yang lebih tinggi,” tulis Morita di otobiografinya.

Ken Kutaragi, yang melahirkan Sony PlayStation, merupakan contoh tepat untuk menggambarkan aspek budaya Sony. Sebagai seorang teknisi yang cerdas, kutaragi bermimpi membuat sebuah Konsol Game Komputer, dengan meyakini bahwa Sony, dengan teknologi dan semangat inovatifnya, dapat dengan mudah mengalahkan para veteran dalam industri ini. Usulan Kutaragi disambut tentangan besar, kebanyakan oleh para kritikus yang meyakini bahwa Sony seharusnya tidak memasuki sebuah industri baru dan tidak dikenal disaat sudah sukses dengan bisnis elektronikanya. Kutaragi bersikeras dan, pada akhirnya, Ohga memberinya lampu hijau untuk mengejar proyek itu, yang kini merupakan salah satu divisi paling menguntungkan di Sony.

ACHIEVEMENT MOTIVATION IN SONY

Mobilitas Internal

Ide mengenai keluarga juga mencakup tanggung jawab perusahaan dalam merawat karyawan dan menawari mereka berbagai peluang untuk tumbuh. Sony memotivasi karyawannya melalui sebuah program bernama Mobilitas Internal. Sebuah bulletin mingguan perusahaan mengiklankan berbagai lowongan pekerjaan di seluruh kelompok perusahaan Sony. Para pekerja di dorong untuk mencoba pekerjaan baru yang cocok dan menarik minat mereka. Dengan cara ini karyawan tidak merasa terkungkung dalam pekerjan yang itu – itu saja. Ada juga evaluasi kinerja karyawan setiap enam bulan untuk membantu mereka mengevaluasi kinerja dan menelusuri jalur karier yang ingin mereka lalui. Seseorang teknisi yang sudah bekerja selama 25 tahun di pusat desain mungkin memutuskan untuk mencoba bekerja dalam bidang pemasaran atau komunikasi korporat. Jika kualifikasinya cocok dan tersedia lowongan, seorang teknisi yang menghabiskan seluruh karirnya di Sony dengan mendesain produk dapat hampir seketika berubah menjadi seorang juru bicara media bagi perusahaan atau menjadi ujung tombak pemasaran. Hal yang sama berlaku bagi karyawan yang ingin memanfaatkan jaringan global Sony dan di tugaskan keluar negeri. (Namun, karyawan luar negeri yang ingin pindah ke Jepang harus mampu berbahasa Jepang.)

Sony selama ini mengambil resiko selama proses recruitmentnya, dengan harapan menemukan karyawan bertalenta. Pendekatan ini mungkin warisan dari asal – usul Sony sebagai sebuah perusahaan muda yang bersaing dengan konglomerasi mapan. Sony selama ini harus membajak teknisi dan tenaga pemasaran berpengalaman dari perusahaan lain, serta memanfaatkan para lulusan universitas dan pengusaha muda yang memiliki potensi dan energi untuk meniti tangga karier.

Satu Untuk Semua Dan Semua Untuk Satu

Saat memperkenalkan serangkaian iklan dengan slogan, “Do you dream in Sony?” Sony ingin membujuk konsumen untuk membeli Sony – merek dan gaya hidup Sony ; mulai dari Walkman, VCR, Televisi, hingga Camcorder. Sebagaimana Sony ingin para konsumen hidup didalam dunianya, perusahaan ini juga mengundang para karyawannya untuk melakukan hal yang sama dengan menciptakan jarring keluarga yang menumbuhkan kesetiaan, kepercayaan, dan komitmen dari perusahaan maupun individu. Dalam formula yang hampir bersifat proteksionis ini, element kreatif dan sikap mengambil risiko tidak sepenuhnya hilang. Rahasia keberhasilan Sony sebagian besar terletak pada visi para pendirinya dan kepercayaan tanpa tanding terhadap perusahaan – sebagai sebuah keluarga, sebagai sebuah mesin inovatif pengambil resiko, sebagai sebuah jenis baru perusahaan penuh semangat kewirausahaan yang menembus segala rintangan. Kedua pendiri percaya pada memulai sesuatu dari nol dan membangunnya sedikit demi sedikit dalam sebuah lingkungan bisnis Jepang yang didominasi dan dipenuhi oleh konglomerasi mapan.

Karisma Morita dan antusiasme serta keyakinan Ibuka pada potensi kemajuan teknologi memberi fondasi bagi sebuah perusahaan yang dibangun diatas kepercayaan, kesetiaan dan petualangan. Dinamika diantara kedua pendiri perusahaan menunjukkan bagaimana kekuatan masing – masing saling mengisi dan bagaimana kedua orang dari jalan hidup yang berbeda ini dapat bersatu dan bekerja berdampingan hampir seperti saudara. Saat mereka sama – sama sedang di kantor, Ibuka dan Morita makan siang bersama. Jika Morita dan Ibuka mengalami perbedaan pendapat, mereka menyelesaikannya secara berdua. Mengenai kebijakan perusahaan, mereka berbicara dalam suatu suara ; tidak ada orang didalam maupun diluar Sony yang pernah mendengar salah satu dari mereka mengkritik yang lain secara terbuka. Setiap orang, termasuk anak dan istri para pendiri, yang melihat mereka bersama – sama, menceritakan betapa mereka memiliki ikatan erat yang menyatukan mereka dengan cara yang misterius.

Memang ada masa – masa dimana terjadi perselisihan paham, terutama disaat sifat pragmatis dan orientasi bisnis morita berbenturan dengan sifat impulsive dan naïf Ibuka. Kebanyakan dari perselisihan itu hanyalah masalah sepele, dan diingiat orang hanya karena hal semacam itu jarang terjadi. Bahkan pada saat Morita sangat ingin memangkas kerugian pada 1960-an akibat kegagalan upaya mengembangkan sinar electron Chromatron yang akan menghasilkan warna untuk pesawat televise Sony, Ibuka tidak kenal kata menyerah. Morita sama sekali tidak pernah berfikir untuk ikut campur dengan rencana hasil pemikiran mitra seniornya, merintangi mimpi atau visinya, atau mengecewakan keinginan mitranya itu, tidak peduli sekanak – kanak atau seirasional apapun mimpi itu. Sebaliknya, dia justru menggunakan charisma nya untuk membantu mewujudkan visi Ibuka.

Seiring dengan berakhirnya era kedua pendiri di Sony, para eksekutif papan atas perusahaan ini masih akan menjunjung sifat hubungan dan filosofi manajemen mereka saat menyapa karyawan atau memotivasi para teknisi mereka saat menjalankan sebuah proyek baru. Sebagaimana digambarkan salah seorang eksekutif Sony : “Perilaku dan gaya manajerial para pendiri masih menjadi kitab rujukan bagi manajemen kami saat ini.”

TIME IN SONY

Tetap Didepan Menjaga Mesin Inovasi Terus Berjalan

Tidak mengherankan bila orang selama ini melihat Sony sebagai kelinci percobaan, Pelopor, Inovator. Inilah perusahaan yang memang dicita-citakan Ibuka. Dia menginkan sebuah lingkungan korporat yang bisa mengasuh para teknisi dan membiarkan mereka mengembangkan Imajinasi. Dia menginkan sebuah lingkungan sebuah perusahaan yang meruntuhkan citra peniru yang menyeliputi perusahaan – perusahaan manufaktur Jepang saat itu. Target yang di pancangkan Ibuka bagi perusahaan barunya yang hanya memiliki delapan karyawan nya itu membumbung tinggi dan berat, namun target itu tidak diragukan lagi sangatlah penting bagi keberhasilan Sony.

Pada tahun menjelang Perang Dunia II label “Made In Japanberarti imitasi murahan atas produk buatan Negara lain, sama seperti saat ini pada mainan cap yang menempel pada mainan murah atau peralatan elektronik Negara Asia Tenggara dan China. Jepang praperang adalah sebuah pusat manufaktur bagi perusahaan – perusahaan Amerika dan Eropa ; upah buruh yang relative murah menjadikannya sebuah tempat menarik untuk mengalihkerjakan (Outsourching) berbagai proses manufaktur dasar. Inovasi hampir tidak dipromosikan sama sekali uang diperoleh dengan memproduksi missal berbagai model tiruan dari perusahaan Barat secara murah dan menjualnya kembali keluar negeri. Stereotip inilah yang sangat ingin diubah oleh Ibuka dan Morita.

Ibuka ingin menciptakan berbagai piranti bermanfaat bagi konsumen Jepang dan Morita menginkan bagi seluruh konsumen di muka bumi ini. Oleh karena itu, konsep Penciptaan dan Inovasi menjadi inti reprensetasi Sony. Keinginan untuk meruntuhkan citra penirulah yang memotivasi para teknisi Sony agar mengambil resiko, sehingga melahirkan beberapa produk konsumen paling populer seperti Walkman pada 1979, televesi layar warna Trinitron yang sangat sukses pada 1967 dan dalam melinium ini agenda genggam elektronik (PDA) Clie`, PlayStation dan Computer VAIO menjadikan Sony perusahaan terdepan dalam Inovasi dan pengembangan produk menjadi lebih baik.

 

INOVASI DARI HATI

“ Segalanya berasal dari dalam hati. Mustahil menciptakan sebuah produk tanpa hati. Dengan memuaskan perasaan orang, Ilmu Pengetahuan akan mendapatkan nilai bagi dirinya sendiri. ”

Masaru Ibuka, pendiri

 

Lihat saja, warna lapisan luar Walkman, hingga bentuk setiap tombol di Komputer VAIO yang sangat bergaya, Sony memberi para Teknisinya Ruang dan Waktu untuk mengerjakan berbagai detail yang membedakan produk – produk Sony dari produk lainnya. Sony telah mendedikasikan berbagai pusat desain di seluruh dunia yang hanya memikirkan tampilan suatu produk, gradiasi warna, bentuk, penempatan tombol dan semacamnya. Sony juga memisahkan pusat – pusat litbang yang berkonsentrasi pada suatu segmen bisnis tertentu, seperti produk nirkabel, audio, atau visual.

ETHICS IN SONY

Karyawan perusahaan Sony sangat memandang tingginya nilai – nilai persaudaraan diantara mereka, baik ditingkat atas para eksekutifnya sampai karyawan di pabrik – pabriknya memandang seluruh karyawan sebagai satu keluarga, dan tidak ada perbedaan/ diskriminasi diantara mereka. Hal ini membuat para karyawan berkorban melakukan apapun cara untuk memajukan perusahaan nya, dengan bekerja keras melakukan, memikirkan sesuatu yang baru untuk di kembangkan didalam setiap proyek yang dikerjakan. Yang paling penting dari itu rasa loyalitas/kesetian yang teramat tinggi kepada perusahaan, dan memandang hina ada karyawan menghianati keluarganya dengan cara pindah ke perusahaan lain.

Etika seperti ini banyak dilakukan perusahaan – perusahaan Asia yang memandang perusahaan adalah keluarga tempat dia berkreativitas. Walaupun perusahaan – perusahaan Asia kini mengalami westernisasi, dengan membayar mahal para konsultan dari Barat untuk mengajarkan restrukturisasi bisnis mereka, banyak perusahaan terus mati – matian mempertahankan salah satu prinsip bisnis tradisional : KESETIAAN. Sebagai imbalan atas kesetiaan karyawan, mereka menawarkan pekerjaan seumur hidup.

Disamping menanamkan sikap kekeluargaan, kesetiaan sebagai etika berhubungan antara sesama karyawan maupun antara karyawan kelas bawah dengan para eksekutif nya begitu sebaliknya dengan mengutamakan sikap saling menghargai dan menghormati dengan saudara yang lebih tua. Meletakkan kesetiaan diatas segala – galanya dan mengutamakan kepercayaan terhadap sesama karyawan.

Memberikan kebebasan karyawan beropini didalam rapat – rapat penting, sebagai salah – satu untuk menghasilkan yang terbaik, walaupun terkadang harus berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Malah sebaliknya akan menjadi penilaian buruk terhadap karyawan yang tidak memberikan opini nya didalam suatu rapat penting. Karyawan diberikan kebebasan untuk berkreativitas sesuai keinginan dan mimpinya tanpa harus takut melakukan kesalahan.

Begitulah cara Sony mengatur tata susila hubungan sesama karyawannya maupun karyawan dengan perusahaan/keluarganya untuk menjadikan Sony dari bukan apa-apa menjadi raksasa electronik dunia.


KESIMPULAN

Perusahaan Sony adalah salah satu perusahaan – perusahaan Jepang yang sukses memasarkan produk secara global (mendunia), dengan cara BERPIKIR GLOBAL dan BERTINDAK LOKAL. Kesuksesan tersebut tidak terlepas dari budaya organisasi perusahaan Jepang atau disebut dengan KAIZEN yang artinya “Penyempurnaan berkesinambungan”, terlihat dari produk – produk yang dihasilkan Sony seperti PlayStation, PDA Clie`, sampai Laptop VAIO. Dengan melakukan penyempurnaan dari produk – produk yang sudah ada secara mendetil memanfaat kekurang produk sebelumnya menciptakan sebuah produk yang berkualitas tinggi, sesuai dengan kebutuhan/keinginan dari konsumen menjadikan Sony sebuah merek yang berkualitas.

Inti dari KAIZEN adalah kesadaran bahwa manajemen harus memuaskan konsumen dan memenuhi kebutuhan konsumen jika perusahaan ingin tetap eksis, memperoleh laba dan berkembang. Tujuannya menyempurnakan mutu, proses, system, biaya dan penjadwalan demi kepuasan konsumen. Konsep lain kaizen yang dipakai Sony yaitu dengan istilah Inovasi, yang merupakan perubahan besar dalam mengikuti perkembangan teknologi. Inovasi menggunakan konsep – konsep dan teknik produksi baru yang bersifat dramatis dan sangat menyolok.

Walaupun Sony telah berhasil menerapkan gaya manajemen korporatnya, tetapi tidak pernah tepikirkan untuk merubah gaya manajemen sebagai pijakankan pertama Morita dan Ibuka yang memandang perusahaan sebagai keluarga bagi karyawan – karyawannya, yang siap memberikan kesetian dan loyalitas terhadap perusahaan untuk bekerja keras, creative menciptakan sesuatu yang baru dengan ber Inovasi.

Bagaimana Sony yang notabane nya perusahaan Jepang memasarkan produknya ke USA, yang harus bersaing dengan perusahaan – perusahaan disana bisa merebut pasar tersebut. Kuncinya adalah KAIZEN, Melakukan Pendekatan Budaya :

  • Sejak awal ketika mengadopsi system kualitas, perusahaan – perusahaan Jepang (Sony) selalu mempertimbangkan budaya setempat.

 

 

  • Keunggulan kompetitif produk Sony adalah budaya organisasi yang akan menjadi “Key Driver”.

 

 

  • Budaya Organisasi adalah “Soft side” sedangkan “Hard Side” meliputi structural, system produksi, teknologi dan desain.